Forum
Komunikasi Direktur Kepatuham (FKDKP) bekerja sama dengan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan Praktisi Perbankan telah menyelenggarakan webinar dengan tema: “Perlindungan
Konsumen Dalam Era Digitalisasi, Penerapan Pengawasan Market Conduct dan
Dampaknya Bagi Perbankan”, yang diikuti sekitar 153 peserta dari berbagai bank di
Indonesia.
Acara dibuka oleh Ketua Umum FKDKP Ibu Fransiska Oei, dengan menyampaikan bahwa inovasi teknologi di kalangan perbankan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada para konsumen, namun di balik kemanfaatan itu telah membawa sejumlah risiko yang dapat merugikan, baik bagi bank maupun konsumen.
Berdasarkan POJK No.
6/POJK.07/2022, tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat, para Pelaku Usaha Jasa
Keuangan (PUJK) wajib memenuhi prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen dan
Masyarakat yang mencakup: edukasi,
keterbukaan dan transparansi informasi,
perlakuan yang adil dan bertanggung jawab, perlindungan aset, privasi,
dan data konsumen, serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang
efektif dan efisien.
Pemenuhan prinsip-prinsip tersebut dilakukan mulai dari desain
produk/jasa, penyediaan dan penyampaian informasi, pemasaran, penyusunan
perjanjian, pemberian layanan atas penggunaan produk dan layanan, serta
penanganan dan penyelesaian pengaduan konsumen.
Dengan adanya produk dan layanan jasa keuangan yang semakin kompleks di era digital ini akan membuka peluang terjadinya hubungan yang tidak seimbang antara konsumen atau nasabah dengan perbankan. Dengan adanya informasi yang jelas diharapkan para konsumen dapat memilih produk dan layanan secara rasional berdasarkan pengetahuan dan informasi yang benar.
Dalam keynote
speech nya Ibu Friderica Widyasari Dewi (Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang
Edukasi dan Perlindungan Konsumen) menyampaikan bahwa di era digital
sekarang ini tindak kejahatan di industri perbankan semakin marak, karena itu
OJK terus memperkuat perlindungan
konsumen melalui regulasi dan pengawasan market
conduct. Regulasi yang efektif akan membuat nasabah merasa nyaman dalam
berhubungan dengan bank, yang akhirnya akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat.
Selama tahun 2022, OJK telah menerima 8.600 pengaduan, dimana yang berasal dari sektor perbankan di atas 45%. Mencakup antara lain masalah restrukturisasi kredit atau pembiayaan; sistem layanan informasi keuangan; masalah agunan atau jaminan; maraknya fraud pihak ketiga. Selama semester 1/2022 terdapat 216 iklan yang melanggar. Selain itu juga marak terjadi kasus penipuan, seperti pinjol ilegal, social engineering, pencurian data pribadi, dan berbagai kejahatan lainnya.
UU OJK
telah menyatakan secara jelas bahwa salah satu tujuan utama dibentuknya OJK
adalah agar kegiatan di sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat. Karena itu, OJK mengeluarkan POJK tentang perlindungan konsumen, yang
diperbarui dengan POJK Nomor 6/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan
Masyarakat.
Beberapa hal yang diatur dalam POJK tersebut antara lain pendekatan pengaturan berdasarkan siklus hidup produk; penguatan penerapan prinsip keterbukaan dan transparansi informasi; adanya kewajiban perekaman apabila penawaran produk dilakukan melalui sarana komunikasi pribadi; serta penegasan wewenang OJK dalam melakukan perlindungan konsumen.
Selanjutnya
Bapak Sarjito - Deputi OJK Bidang
Edukasi dan Perlindungan Konsumen dan Bapak Bernard Widjaja – Direktur Market
Conduct OJK, menyampaikan Landasan hukum perlindungan konsumen dan
masyarakat yaitu UU No. 21/20211, tentang OJK dimana dalam pasal 4 disebutkan
bahwa pembentukan OJK bertujuan agar seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan
dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh stabil dan berkelanjutan dan stabil; serta mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Dalam melindungi konsumen dan
masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian, pelayanan
pengaduan, serta melakukan pembelaan, sebagaimana diatur dalam pasal 28, 29, dan 30 UU tersebut.
Terkait tindak pencegahan,
bank harus memberikan informasi dan
edukasi kepada masyarakat atas produk
dan jasa yang ditawarkan. Apabila layanan tersebut berpotensi merugikan masyarakat,
OJK bisa meminta lembaga keuangan untuk menghentikan kegiatannya.
POJK Nomor 6/2022, telah memperhatikan
kepentingan konsumen maupun pelaku usaha jasa keuangan. Dengan adanya POJK ini
diharapkan bisa menciptakan sistem perlindungan konsumen yang handal,
meningkatkan pemberdayaan konsumen dan menumbuhkan kesadaran pelaku bisnis
mengenai pentingnya perlindungan konsumen dan masyarakat.
Dari
sisi Praktisi disampaikan oleh Bapak Hendra Lembong - Wakil Presiden
Direktur Bank BCA, memaparkan terkait implementasi market conduct, BCA antara lain memberikan jaminan bahwa uang
nasabah yang hilang karena kesalahan di BCA, akan dikembalikan.
Namun, dalam penanganan
tindakan fraud, BCA mengefektifkan
kerjasama dengan berbagai pihak seperti Kominfo, Kepolisian, Fintek, Perbankan, dan nasabah.
Selain itu, karena budaya
perusahaan dan penegakan integritas, maka dalam penilaian KPI karyawan, bobot
untuk customers relationship dan service excellence mencapai 60%,
sedangkan 40% untuk target financial.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa semua kebutuhan nasabah
terpenuhi.
Terkait
kebijakan perlindungan konsumen, di BCA sudah ada dua unit perlindungan
konsumen yaitu di internal dan eksternal. Di internal, diberi batasan kepada staf
yang tidak bisa akses ke system dan ada unit khusus yang melindungi data
nasabah.
Dari segi eksternal, ada tim
khusus pelindungan konsumen yang menangani fraud
yaitu Tim Hallo BCA dan juga menyediakan
nomor telpon khsusus tanpa pulsa bagi nasabah yang ingin menyapaikan laporan.
Khusus mengenai risk and security, dimana banyak
transaksi mengunakan handphone, BCA
sudah memiliki beberapa prosedur pengamanan. Misalkan, dalam menjawab live chat terutama whatsapp, harus bisa direspon dalam dua menit, dengan menyiapkan
sekitar 2.000 petugas.
Sharing
dari Bapak Ahmad Solichin Luthfiyanto-Direktur Kepatuhan Bank BRI dalam
mengimplementasikan market conduct di
era digital ini menjadi tantangan tersendiri karena harus meng-cover semua jaringan bisnis BRI.
Terlebih karena segmen utama BRI nasabah UMKM, dimana masyarakat dan nasabah
sekarang makin familiar dengan platform
digital.
Sekarang ini ada gap yang jauh antara financial inclusion dangan literasi
keuangan. Financial incusion sudah
mencapai 74% (2019), bahkan pemerintah menargetkan 90% di tahun 2024, namun
literasinya baru 36%. Gap yang lebar
ini bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya social engineering.
Spirit
perlindungan konsumen bukan hanya ketika ada dispute, konflik, atau pada
saat menjual produk dan jasa kepada nasabah. Tetapi harus mulai sejak merancang
atau mendesain produk dan layanan yang
akan dijual kepada nasabah. Jadi, spirit dan jiwa perlindungan konsumen itu
sudah ada di depan.
Di BRI ada yang namanya
Komite Produk ( 1 dan 2) dimana setiap mau menentukan produk atau fitur baru
harus melalui komite dimana di komite ini terlibat tiga unsur utama: unsur bisnis, risk management, dan perlindungan
konsumen.
Secara kelembagaan,
perlindungan konsumen masuk dalam Direktorat Jaringan Layanan, di bawah divisi service dan contact center.
Di BRI ada program penyuluh
digital dengan fungsi utama: akuisisi rekening,
pembukaan rekening digital; edukasi nasabah dalam transaksi digital; dan
memastikan transaksi itu aman dan
nyaman.
Di POJK
yang baru, bank harus memberikan jeda kepada nasabah untuk memahami berbagai
ketentuan dalam “kontrak” sebelum ditandatangani. Hal ini perlu diantisipasi karena akan
berdampak pada layanan kepada nasabah.
Dengan adanya POJK baru ini,
kita harus meningkatkan transparansi melalui komunikasi dan informasi mengenai
risiko produk dan jasa yang kita tawarkan kepada nasabah. Kita perlu terus
mengedukasi karyawan agar tidak melakukan mis-selling,
karena mayoritas pengaduan ke OJK itu
disebabkan oleh mis-selling. ***
Akhir seminar dirangkum oleh Moderator Ibu Tribuana Tunggadewi, Ketua Bidang Pelatihan FKDKP.
Jakarta, 31 Agustus 2022